Tasawuf Sunni dan Tasawuf Filosofis

Written By M. Yazid on Minggu, 16 Oktober 2011 | 05.54

Tasawuf Sunni dan Tasawuf Filosofis
Oleh :Dorespell. dkk







BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
            Banyak hal yang berbeda di dunia ini tidak terkecuali dalam paham. Dalam makalah yang berjudul ” Tasawuf Sunni dan Tasawuf Filosofi” ini penulis akan memaparkan perbedaan persamaan pandangan dari kedua aliran tasawuf ini.

B. Rumusan Masalah
  1. Pengertian Tasawuf Sunni dan Tasawuf Filosofi
  2. Pandangan-pandangan taswuf sunni
  3. Pandangan tasawuf filisofis
  4. Objek dan karakteristik tasawuf filosofis
  5. Al-Ghazali dan Neo-sufisme
  6. A- Surawardi Al-Maqtul dan Hikmah Al-Isyaraqi

C. Tujuan
            Adapun tujuan yang penulis ingin sampaikan dalam penulisan makalah ini adalah:
  1. Dengan mempelajari tasawuf sunni dan tasawuf filosofi, kita dapat meningkatkan ketaqwaan kita kepada Allah SWT.
  2. Semoga makalah ini dapat menjadi pedoman begi para pembaca dalam perluasan wawasan mengenai sufisme








BABII
PEMBAHASAN
TASAWUF SUNNI DAN TASAWUF FILOSOFIS

A.     Pengertian Tasawuf Sunni dan Tasawuf Filosofis
Menurut ibnu Kaldun, manusia memiliki pancaindera (anggota tubuh), akal pikiran, sehat berdaya guna dan dapat bekerja sama secara harmonis. Untuk dapat menghsilkan kondisi seperti ini ada tiga bidang ilmu yang berperan penting. Pertama, fiqih yang berperan dalam membersihkan dan menyehatkan panca indera dan anggota tubuh. Kedua, filsafat yang berperan dalam menggerakkan, menyehatkan dan meluruskan akal pikiran. Ketiga, tasawuf yang berperan dalam membersihkan hati sanubari.[1]
Dari pendapat Ibnu Kaldun tersebut dapat kita lihat bahwa ilmu tasawuf merupakan ilmu yang penting untuk dipelajari. Tasawuf berperan sebagai pembersih hati sanubari, merupakan upaya untuk membebaskan diri dari segala pengaruh kehidupan dunia, sehingga tercermin Akhlak mulia dan dekat dengan Allah Swt.
Tasawuf sebagai ilmu kerohanian ataupun sebagai mistisisme dalam agama islam memiliki aliran –aliran yang satu sama lain memiliki perbedaan yang mendasar dan persamaan yang prinsipil. Dapat dibagi kepada dua aliran yaitu; tasawuf Sunni dan Tasawuf  Filosofis.[2]
Tasawuf sunni adalah aliran yang masih memberikan garis pemisah atau pembedaantara manusia dengan tuhan, yang sesuai dan berdasar pada prinsip-prinsip Islam.[3] Imam Ghazali merupakan pembela terbesar tasawuf sunni. Beliau memandang bahwa tasawuf sunni adalah tasawuf yang berdasarkan doktrin Ahlu Sunnah Wal Jama’ah, dan berdasarkan kehidupa (asketis), yaitu kehidupan yang dijalankan secara sederhana baik dari segi kehidupan maupun pembinaan jiwa.[4] 
Tasawuf Filosofis adalah aliran tasawuf yang tidak memberikan pemisahan antara manusia dengan tuhannya. Karena menurut mereka manusia seesensi dengan tuhannya, karena manusia berasal dan tercipta dari esensi-Nya. Oleh karena itu manusia manusia dapat menyatu dengan tuhannya.[5]
Pada dasarnya antara tasawuf sunni dan taswuf filosofis memiliki kesamaan yang prinsipil disamping perbedaan-perbedaan yang mendasar. Keduanya sama-sama mengakui ajarannya bersumber dari Al-qur’an dan Hadist dan mengamalkan ajaran islam secara konsekuen. Keduanya mengakui bahwa sufi yang benar-benar sufi adalah orang-orang yang Zahid dan ‘Abid serta mementingkan rohani dan moralitas. Begitu juga dalam proses perjalanan menuju arah yang ingin dicapai, kedua aliran sama-sama berjalan pada prinsip-prinsip maqomat dan al-ahwal. Perbedaan yang jelas dari kedua aliran tersebut terletak pada tujuan ”antara”* yakni maqom tertinggi yang dapat dicapai seorang sufi. Walaupun pada tujuan akhirnya mereka sama-sama ingin memperoleh kebahagiaan yang hakiki, kebahagiaan yang bersifat spiritual.[6]
Menurut Dr. Abu al-wafa’ al-ghanimi al-taftazani Tasawuf  Filosofis ialah Tasawuf yang ajarannya memadukan antara visi mistis dan fisi rasional pengasasnya.[7] Arketisme (zuhud) merupakan cikal bakal tumbuhnya tasawuf., sedangkan munculnya arketisme bersumber dari ajaran islam. Pemahaman dan pengamalan arketisme* yang berkembang sejak abad pertama Hijriyah, benar-benar berdasarkan Islam. Baik yang bersumber dari Al-Qur’an, Al-sunnah ataupun kehidupan sahabat Nabi. Sikap hidupdalam keberagaman yang mereka anut adalah bersikap pada usaha yang sungguh-sungguh untuk memperoleh kebahagiaan di akhirat kelak dan memperbanyak ibadah serta menghindarkan diri dari pengaruh kehidupan dunia.
                                                                                                            
B.     Pandangan-pandangan tasawuf sunni
Selama abad ke-5 Hijriyah aliran tasawuf  Sunni terus tumbuh dan berkembang, pada abad ke-5 ini juga cenderung mengadakan pembaharuan yakni dengan mengembalikannya kelandasan Al-qur’an dan al-sunnah. Al-Qusyairi dan Al-Harawi dipandang sebagai tokoh paling menonjol abad itu, yang membawa tasawuf ke arah aliran Sunni, dan metode keduanya dalam hal pembaharuan tersebut akan diikuti oleh Al-Ghazali pada penggal ke-2 abad itu. Dengan demikian pada abad ke-5 Hijriyah aliran tasawuf sunniberada dalam posisi yang menentukan, yang memungkinkannya tersebar luas di kalangan dunia islam.[8]
1.      Al-qusyairi
Al-qusyairi adalah salah seorang sufi utama dari abad ke-5 Hijriyah. Nama lengkap beliau adalah Abdul Karim Ibn Hawazin. Lahir tahun 376 H Di Istawa kawasan Nishapur. Ia berdarah arab dan tumbuh dewasa di Nishafur salah satu pust ilmu pengetahuan pada masanya. Disinilah ia bertemu dengan gurunya, Abu Ali Adaqqaq, seorang sufi terkenal. Al-qusyairi selalu menghadiri majlis gurunya, dan dari gurunya tersebut beliau menempuh jalan tasawuf. Sang guru pertama-tama menyarankan Al-qusyairi untuk mempelajari Fiqh kepada seorang faqih, yaitu Abu Bakar Muhammad Ibn Abu Bakar Al-Thusi (meninggal tahun 405 H) dan ilmu kalam serta ushul Fiqh pada Abu Bakar ibn Farrak (meninggal tahun 406 H). Sealain itu ia menjadi murid Abu Ishak al-isfarayini (meninggal tahun 418 H), dan menelah banyak karya-karya al-baqilani. Dari situlah ia berhasil menguasai doktrin Ahli sunnah wal jama’ah yang dikembangkan al-asyari9 dan para muridnya. Menurut ibnu khalikan, al qusyairi adalah seorang tokoh yang mampu ”mengkompromikan syari’at dengan hakikat”, beliau meninggal pda tahun 465 H. Al-Qusyairi lebih cenderung mengembalikan tasawuf ke atas landasan ahlu sunnah wal jama’ah. Sebagaimana pernyataannya; ”ketahuilah! Para tokoh aliran ini (para sufi) membina prinsip-prinsip tasawuf atas landasan-landasan tauhid yang benar, sehingga terpeliharalah doktrin mereka dari pnyimpangan. Selain itu mereka lebih dekat dengan tauhid kaum salaf maupun ahlu sunnah yang tidak tertandingi dan tidak mengenal macet.[9]

2.      Al-Harawi
Al-Harawi merupakan tokoh lain pada abad ke-5 Hijriyah yang dipandang sebagai penggagas aliran pembaharuan dalam tasawuf dan penentangan para sufi yang terkenal dengan keganjilan dengan ungkapan-ungkapannya, seperti al-Busthami dan al-hallaj.[10]
Al-Harawi nama lengkapnya adalah Abu Ismail ‘Abdullah ibn Muhammad Al-Asyari, lahir tahun 396H di Heart kawasan Kurasan. Menurut Louis raassignon al harawi adalah seorang faqih golongan hambaliyah yang terkenal, karya-karyany dalam bidang tasawuf dipandang bernilai, namun karena beliau sebagai penganut hambaliah maka permusuhannya terhadap aliran Asyariyah terkenal keras.
Karya tasawuf al harawi yang paling terkenal adalah Manazil Al-Sa’irinila Rabb Al-‘Alamin. Dalam karyanya yang ringkas tersebut beliau menguraikan tingkatan-tingkatan rohani para sufi, tingkatan tersebut menurut beliau memiliki awal dan akhir, katanya ”kebanyakan ulama kelompok ini sependapat bahwa tingkatan akhir tidak dipandang benar kecuali dengan benarnya tingkatan awal, seperti halnya bangunan tidak bisa tegak kecuali didasarkan kepada pondasi. Benarnya tingkatan awal adalah dengan menegaknya di atas keikhlasan serta keikutan terhadap Al-Sunnah.

3.      Al-Ghazali
Al-Ghazali nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn ahmad, yang karena kedudukan tingginya dalam islam dia digelari Hujjatul Islam. Menurut sebagian penulis biografi, ayahnya bekerja sebagai pemintal wol. Dari latar belakang itulah sufi kita itu terkenal dengan Al-Ghazali (yang memintal wol). Sebagaimana ia terkenal dengan Al-Ghazali, sebagaimana halnya diriwayatkan Al-Sama’ani dalam karyanya, Al-ansab yang dinisbatkan pada suatu kawasan yang disebut Ghazalah.
Al-Ghazali memiliki pengetahuan yang luas dan dalam. Dia menguasai berbagai pengetahuan pada masanya, dan dia mampu mengungkapnya secara menarik seperti yang tercermin dalam karyanya[11]
Sebagai seorang Faqih (jurist) beliau berafiliasi pada aliran Syafi’iyyah, dan sebagai seorang teolog beliau berafiliasi pada aliran Asyariyah. Di samping menguasai ilmu-ilmu agama, beliu juga menguasai ilmufilsafat dan logika. Sehingga sebagian kritisi memandang pengetahuan filsafatnya tidak kurang penting dibanding pengetahuan para filosof sendiri. Dapat dipastikan bahwa uraian-uraiannya tentang aliran-aliran filsafat dalam karyanya, Maqasid Al-Falasifah, dan kritiknya terhadap mereka dalam karyanya Tahaful Al-Falasifah, menunjukkan pengetahuannya yang luas tentang filsafat yunani maupun penguasaannya terhadap aliran-aliran tersebut.
Meskipun telah mengkritik para teolog, menurut pendapat kami Al-ghazali tetap sebagai seorang teolog yang menganut aliran Asy’ariyah, sekalipun telah menjadi seorang sufi beliau lebih memandang teologi hanya sebagai fardhu kifayah, sebab tasawufnya selalu didasarkan kepada fiqh dan ilmu kalam. Kritiknya terhadap para teolog pada dasarnya berkaitan dengan metode mereka dan tidak berkaitan dengan doktrin-doktrin yang hendak mereka buktikan atau pertahankan yang menjadi landasan semua tasawuf.[12]
Dalam tasawuf, pilihan al-ghazali jatu pada tasawuf sunni yang berdasarkan dokttrin ahlu sunnah waljama’ah.dari paham tasawuf itu beliau menjauhkan semua kecenderungan genustis yang mempengarui para filosof islam, sekte islamiyah dan aliran Syi’ah, ikhwarus safa dan lain-lain. Beliau juga menjauhkan tasawufnya dari teori-teorinketuhanan menurut aris toteles antara lain dari teori amanasi dan penyatuan. Sehingga dapat dikatakan bahwa tasawuf Al-Ghazali benar-benar bercorak Islam.
Al-ghazali tertarik pada suatu hal dalam Tasawuf, yaitu terdapatnya latihan jiwa untuk mempertinggi sifat-sifat yang terpuji dan menahan dorongan nafsu serta meninggalkan sifat-sifat tercela, sehingga sanubari seseorang menjadi bersih. dan dengan diadakannya pelatihan kejiwaan posisi manusia akan naik dari posisi satu keposisi yang lain, hingga mencapai tingkat kebahagiaan*.
Menurut Al-ghazali, jalan para sufi dalam tasawuf  baru bisa dicapai dengan mematahkan hambatan-hambatan jiwa serta membersihkan diri dari moral dan sifatnya yang buruk maupun tercela, sehingga kalbu dapat lepas dari segala sesuatu yang selain Allah dan berhias dengan ingatan Allah. Dia juga berpendapat bahwa para sufi adalah penempuhjalan kepada Allah, dan perjalanan mereka adalah yang paling baik, jalan mereka adalah yang paling benar, dan moral mereka adalah yang paling bersih.
Dalam pahamnya, Al-ghazali mengatakan bahwa Al-khalik merupakan suatu wujud, sedangkan Al-makhluk adalah wujud yang lain, meskipun manusia sudah mencapai tingkatan maqam dan ahwal yang lebih tinggi. Jadi Al-khalik teap berada pada posisinya sebagai pencipta dan al-makhluk pada posisinya sebagai ciptaan, maka tidak mungkin kedua wujud tersebut bersatu.[13]  Dapt dipahami bahwa manusia dengan tuhannya adalah sesuatu yang tidak dapat disatukan namun keduanya memilikihubungan timbal balik. Yaitu tuhan merupakan pencipta manusia, dan manusia adalah ciptaan Tuhan.
Selain itu Al-ghazali juga membedakan tingkatan iman setiap hamba menjadi tiga tingkatan:
a)      Iman orang awam; yaitu orang-orang yang beriman hanya karena ada berita dari orang yang dipercayainya (Rasul).
b)      Iman orang Alim; yaitu orang yang beriman karena hasil penelitiannya, analisanya, serta kesimpulan dari upaya akalnya.
c)      Iman orang Arif (bijaksana); yaitu imannya orang-orang yang telah menyaksikan sendiri kebenaran hakiki yang telah didapatkan oleh pengalaman rohaninya tannpa ada suatu hijab (tabir) yang menghalanginya.[14]
Dalam memandang sesuatu Tasawuf Sunni kurang memperhatikan Ide-ide spekulatif spekulatif, karena mereka sudah merasa puas dengan argumentasi yang bersifat Naqli agamawi. Barang kali karena sikap ortodoksi dan keserhanaan berfikir kelompok ini, kehadirannya dapat mudah diterima oleh umumnya ulam Ahlu sunnah wal jama’ah. Inilah yang menjadi sebab penamaan tasawuf ini dengan tasawuf Sunni.[15] Tasawuf ini menggunakan sumber dari Al-qur’an dan Hadis dalam ajarannya. Dalam penafsiran sumber tersebut secara sederhana, memaknainya sesuai dengan arti yang terkandung sesuai dengan lafadznya, dan cenderung membatasi diri dengan menggunakan landasan Naqli saja.
 Dari segi pencapaian sasaran Antara tasawuf sunni dapat dibedakan kepada tasawuf akhlaki dan tasawuf Amali.[16]

C.     Pandangan-pandangan tasawuf filosofis
Tasawuf filosofis adalah tasawuf yang ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional pengasasnya. ciri umum tasawuf filosofis adalah kesamar-samaran ajarannya, akibatnya banyak peristilahan dan ungkapan khusus yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang memahami ajaran tasawuf jenis ini. Selanjutnya tasawuf filosofis tidak dapat dipandang sebagai filsafat, karena ajaran dan metodenya didasarkan pada rasa (dzawa) dan sebaliknya, tidak pula bisa dikategorikan pada tasawuf, dalam pengertiannya yang murni, karena ajarannya sering diungkapkan dalam bahasa filsafat, dan kecenderungan mendalam pada pantaisme.[17]
Tasawuf filosofis sangat gemar terhadap ide-ide spekulatif karena kebanyakan sufi aliran ini memiliki pengetahuan yang cukup dalam dalam dunia filsafat. Dengan kegemaran tersebut mereka mampu menampilan argumen-argumenyang kaya dan luas tentang ide-ide keTuhanan dan alam metafisis yang menurut keyakinan mereka masih relevan dengan nilai-nilai Al-qur’an dan Sunnah.[18]
Tasawuf ini tidak hanya menggunakan Al-qur’an dan Hadist saja, mereka juga menggunakan Akal pemikiran sebagai alat untuk memahami sumber yang terdapat dalam Al-qur’an dan Hadist, agar dalam memahami sumber tersebut tidak mengalami kesesatan ataupun kesalahan tafsir, karena sumber tersebut adakalanya bersifat muhkamat dan adakalanya mutasyabihat.
Perpaduan antara tasawuf dan filsafat dalam ajaran tasawuf falsafi, dengan sendirinya telah membuat ajaran-ajaran tasawuf jenis ini bercampur dengan sejumlah ajaran-ajaran filsafat diluar islam seperti dari yunani, Persia, india dan agama nasrani.[19] Walaupun demikian keaslian tasawuf tetap terjaga karena para tokoh meskipun mempunyai latar belakang kebudayaan dan pengetahuan yang berbeda dan beraneka mereka tetap berusaha menjaga kemandirian ajaran mereka. Dan tentunya tidak melenceng dari apa yang diajarkan dalam aliran mereka.

D.    Objek dan karakteristik tasawuf filosofis
Para pengkaji filosofis berpendapat bahwa perhatian para penganut aliran ini terutama diarahkan untuk menysun teori-teori wujud dengan berlandaskan rasa yang merupakan titik tolak ajaran tasawuf mereka.[20]
Ibnu Kaldum dalam karyanya Al-muqadimah menyimpulkan bahwa ada empat objek utama yang menjadi perhatian para sufi filosofis yaitu:
1.      latihanrohani dengan rasa, intuisi, sertaintrospeksi diri yang timbul darinya.
2.      iluminasi atau hakikat yang tersingkap dari alam gaib, misalnya sifat-sifat Rabbani, arrsy, kursi, malaikat, wahyu kenabian, ruh, hakikat realitas segala yang wujud, yang gaib maupun yang tampak, dan susunan kosmos, terutama tentang penciptanya serta penciptaannya.
3.      peristiwa dalam alam maupun kosmos yang berpengaruh terhadap berbagai bentuk kekeramatan atau keluar biasaan.
4.      penciptaan ungkapan-ungakapan yang pengertiannya sepintas samar-samar yang dalam hal ini telah melahirkan reaksi masyarakat berupa pengingkarannya, menyetujui ataumenginterprestasikannya.

Adapun tentang latihan tingkatan (maqam) maupun keadaan (hal) rohaniah serta rasa yang ditimbulkannya, para sufi filosof cenderung sependapat dengan sufi sebelumnya. Sebab masalah tersebut menurut Ibnu Kaldum ”adalah masalah yang yang memang tidak seorangpun menolaknya, segenap rasa para sufi filosof ini adalah benar dan akan mengantarnya menuju kebahagiaan yang hakiki”

E.     Al-Ghazali dan Neo-sufisme
Apa yang ingin dicoba ungkapan dari sufisme terdahulu adalah bahwa sufisme secara tegas menempatkan penghayatan keagamaan yang paling benar pada pendekatan esoteris, pendekatan batiniah. Dampak dari pendekatan esoteris ini adalah timbulnya kepincangan dalam aktualisasi nilai-nilai islam, karena lebih mengutamakan makna batiniyah saja atau ketentuan yang bersifat saja dan sangat kurang memperhatikan aspek lahiriyah formalnya. Oleh karena itu adalah wajar jika kemudian dalam penampilannya kaum sufi tidak tertarik untuk memikirkn masalah-masalah sosial kemasyarakatan, bahkan terkesan mengarah keprivatisasi agama. [21]
Dari banyak usaha percobaan rekonsilasi antara dua kubu yang berbeda itu Ghazali dipandang paling berhasil melakukannya. Landasan pikir yang dikembangkannya adalah apa yang dikenal dengan syari’at, thariqat, dan hakikat yang terpadu secara utuh. Artinya bahwa penghayatan keagamaan harus melalui proses gradual dan kumulatif antara syari’at dan sufisme. Sebelum memasuki dunia tasawuf harus terlebih dahulu memahami syari’at, tetapi untuk memahami syari’at secara benar dan mendalam harus melalui proses tariqat.[22]  
Menurut Al-ghazali untuk mendapatkan pemahaman dan penghayatan keagamaan yang mendalam, harus melalui orientasi esoteris terhadap konsep-konsep agama sesuai dengan rumusan syari’ah. Pendekatan esoteris dapat dan harus dilakukan dengan jalan tidak keluar dari prinsip-prinsip syari’at.[23] Dan beliaupun menegaskan bahwa proses penghayatan esoteris harus ditempuh dalam suasana Uzlah (semacam bertapa) separtiyang ia lakukan semasa hidupnya. Apapun hasil yang didapat, Al-ghazali merupakan tokoh utama yang paling berjasa dalam melakukan revormasi sufisme terdahulu dan merupakan tajdid (pembaharuan) sufisme ortodoks/sufisme sunni.
Neo-Sufisme pertama kali di munculkan oleh pemikir islam kontemporer, yakni Fazlur Rahman dalam bukunya ”Islam”. Kehadiran istilah ini tidak mudah untuk diterima begitu saja oleh pemikir muslim, tetapi justru memancing polemik dan diskusi yang luas. Sebelum Fazlur, di Indonesia Hamka telah menampilkan istilah tasawuf moderen dalam bukunya ”tasawuf moderen”, namun dalam buku ini tidak ditemui istilah Neo-Sufisme.
Menurut Fazlur Rahman, perintis apa yang ia sebut dengan Neo-Sufisme adalah Ibn Taimiyah (wafat 728 H) yang kemudian diteruskan oleh muridnya Ibn Qoyyim, yaitu tipe tasawuf yang terintegrasi dengan syari’ah. Apabila benar demikian, maka muatan dari yang disebut Neo-Sufisme itu sudah sejak abad delapan Hijriyah, tetapi kenapa baru abad dua puluh ini baru diangkat sebagai Neo-Sufisme?.
Kebangkitan kembali sufisme di dunia islam dengan sebutan Neo-Sufisme, tidak dapat dipisahkan dari apa yang disebut dengan kebangkitan agama sebagai penolakan terhadap kepercayaan yang berlebihan kepada sains dan tehnologi selaku produk era moderenisme. Moderenisme dinilai telah gagal memberikan kehidupan yang bermakna bagi manusia, karenanya orang kembali ke agama. Karena salah satu fungsi agama adalah memberikan makna dalam kehidupan.[24]

F.      Al- Surawardi Al-Maqtul dan Hikmah Al-Isyaraqi
Al-Surawardi Al-Maqtul merupakan salah seorang dari golongan pertama para sufifilosof. Nama lengkapnya adalah Abu Al-Futuh Yahya Ibn Habsy Ibn Amrak, yang memiliki gelar Syihabuddin dan dikenal juga sebagai sang Bijak (Al-Hakim). Dia termasuk golongan sufi abad keenam Hijriyah, lahir di Suhraward sekitar tahun 550 H dan dibunuh di Halb (Aleppo) atas perintah Shalahuddin Al-Ayyubi, tahun 578 H. Karena itulah ia digelari Al-Maqtul (yang dibunuh), sebagai pembedaan dengan dua sufi lainnya, yaitu Abu Al-Najib Al-Suhrawardi (meninggal tahun 563 H) dan Abu Hafsh Syihabuddin Al-Suhrawardi Al-Baghdadi (meninggalkan tahun 632 H), penyusun kitab Awaris al-Ma’arif.
Dikabarkan konon mengetahuan filsafat Al-Suhardi begitu mendalam, bahkan kitab thabaqat al-athibba menyebut Al-suhrawardi sebagai salah seorang tokoh zamannya dalam ilmu hikmah, menguasai ilmu filsafat, memahami ilmu fiqh, cerdas pemikirannya dan pasih ungkapan-ungkapannya.
Al-suhrawardi telah meninggalkan sejumlah karya dan risalah antara lain ialah hikmah al-isyraq, al-talwibat (yang tampaknya mengikuti pemikiran-pemikiran Aries Toteles) dan lain-lain. Dari sebanyak karyanya tersebut hanya ada satu yang menguraikan tentang alirannya yaitu Hikmah Isyraqi yang berisi pendapat-pendapatnya tentang tasawuf isyraqi. Karya-karya al-surawardi pada umumnya cenderung bercorak simbolis dan begitu samar.
Al-suhrawardi al-maqtul mengemukakan bahwa hikmah isyraqnya didasarkan pada rasa, sebagai mana katanya: ”apa yang dikemukakan (dalam hikmah isyraq) ini tidak kuperoleh lewat pemikiran, tapi kuperoleh lewat sumber lain. Dan akupun segera mencari argumentasinya. Jika argumentasinya benar-benar telah pasti, sedikitpun aku tidak ragu terhadapnya sekalipun orang-orang meragukannya.
Adapun mengenai wujud Al-suhrawardi telah menyusun sebuah teori yang dikemukakan secara simbolis, berdasarkan teori emanasi. Akan tetapi teorinya tidak bisa dipandangsebagai teori para sufi tentang kesatuan wujud dalam pengertiannya yang rinci. Sebab menurutnya, terdapat beberapa alam yang melimpah dari Allah atau cahaya dari segala cahaya, yang mirip matahari yang sama sekali tidak kehilangan cahayanya sekalipun ia bersinar terus menerus. Menurutnya ada tiga alam yang melimpah yaitu akal budi, alam jiwa dan alam tubuh.[25]
Al-suhrawardi berpendapat bahwa jiwa manusia tidak bisa sampai pada alam suci serta tidak bisa menerima cahaya-cahaya iluminasi kecuali dengan latihan rohani. Sebab alam suci maupun cahaya itu adalah substansi molakut, alam suci tersebut tidak membutuhkan kekuatan-kekuatan fisik. Jelasnya ”seandainya jiwa manusia menguat dengan keutamaan-keutamaan rohani, dan kontrol kekuatan fisik melemah akibat mengurangi makan serta mengurangi tidur malam, jiwapun melesat menuju alam suci dan bertemu dengan induk sucinya, bahkan menerima berbagai pengetahuanNya.
 Dengan demikian menurut beliau, lewat latihan rohaniyah jiwa menjadi berkaitan dengan suatu kefanaan duniawi. Dan lewat kefanaan itulah jiwa berhubungan dengan alam suci serta mencapai kelezatan dan kebahagiaan. Kelezatan setiap kekuasaan itu selaras dengan kesempurnaan dan pemahamannya begitu juga dengan kegetirannya. Kelezatan atau kegetiran itupun selaras dengan kekhususan yang dimilikinya.[26] Jadi menurut beliau jiwa-jiwa yang utama bisa terealisasi dengan menyaksikan cahaya-cahaya yang maha benar serta terpesona dalam lautan cahaya, dan bukan dengan mengakhiri kebahagiaan.

















BAB III
PENUTUP


Kesimpulan
Dari uraian di atas pada intinya kedua aliran ini pada hakikatnya ialah satu yaitu bagian dari ajaran agama islam. Walau ada beberapa perbedaan pendapat di antar mereka tetapi hal itu adalah rahmat Allah atas akal fikiran yang di berikan kepada kita hambanya.

Saran
Dalam makalah di atas tentu banayak terdapat kesalahan baik dari isi, susunan, maupun dari segi penulisan, maka dari itu penulis berharap dari pihak pembaca semua agar sudi kiranya memberikan kritik dan sarannya terutama kepada dosen pembimbing yaitu “Bapak Dr. Asmal May, M. A” guna kemajuan di masa yang akan dating.


[1] Prof. Dr. Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf. Halm.177
[2] Prof. H. A. Rivay Siregar. Tasawuf, dari Sufieme Klasik ke Neo-Sufisme. Halm.55
[3] Ibid. Halm. 55
[4] Dr. Abu Al-Wafa’. Sufi Dari Zaman ke Zaman. Halm. 148
[5] Opcit.Halm. 56
* tujuan antara adalah terciptanya komunikasi langsung antara sufidengan Tuhan dan posisi seakan-akan tiada jarak lagi di antara keduanya. dalam mengartikan posisi dekattanpa jarak inilah yang menjadi perbedaan antara golongan sunni dan filosofis. Golongan sunni tetap memberi batasan antara manusi dengan Tuhannya. Sedangkan golongan filosofis tidak lagi memberikan batasan antara manusia dan Tuhan.
[6] Prof. H. A. Rivay Siregar. Tasawuf, dari Sufieme Klasik ke Neo-Sufisme. Halm. 55
[7] Dr. Abu Al-Wafa’. Sufi dari Zaman Ke Zaman. Halm. 187
* Asketisme disebut juga dengan Zuhd yaitu sikap lebih mementingkan urusan akhirat dari pada urusan dunia. Hal ini bukan berarti tidak melirik dunia sedikitpun, namun menggunakan dunia atau harta demi mencapai kehidupan akhirat yang bahagia.
[8] Prof. H. A. Rivay Siregar. Tasawuf, dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme. Halm.141
[9] Abu Al-Wafa’. Sufi dari Zaman ke Zaman. Halm.140-142
[10] Ibid.. Halm. 144
[11] Ibid.. Hal, 155
[12] Ibid. Halm, 156
* kebahagiaan yang dimaksud adalah kebahagiaan yang hanya dapat dicapai dengan ketakwaan dan terlepas dari keindahan duniawi
[13] Drs H A Mustofa. Akhlak Tasawuf. Halm, 230
[14] Ibid.. Halm, 230
[15] Prof. H. A. Rivay Siregar. Tasawuf, dari Sufieme Klasik ke Neo-Sufisme. Halm, 56
[16] Ibid.. Halm, 56

[17] Dr Asmaran As. Pengantar Studi Tasawuf. halm, 153
[18] Opcit. Halm. 56
[19] Dr Asmaran As. Pengantar Studi Tasawuf. Ha152
[20] Abu Al-Wafa’. Sufi dari Zaman ke Zaman. Hal, 188
[21] Ibid. Halm, 309
[22] Rivay Siregar. Tasawuf, dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme. Halm, 310
[23] Pola pikir Al-ghazali ini dapat kita temukan dalam dalam karya momentalnya yang berjudul Ihya Ulumuddin yang berisi akan isyarat akan adanya proses gradual.
[24] Opcit. Halm, 312

[25] Abu Al-Wafa’. Sufi dariZaman ke Zaman. Halm, 196
[26] Ibid. Hal, 198



1 komentar:

Posting Komentar